
'Rasanya Baru Kemarin', Sebuah Puisi Kemerdekaan Gus Mus
(gomuslim). Kekayaan tradisi dari setiap daerah seyogyanya harus dijaga oleh setiap insan yang mewarisinya, khususnya generasi muda. Karena dengan tradisi itulah, sebuah bangsa mempunyai muka, muka yang bisa dikenali, muka yang bisa dianggap sebagai ciri dari seseorang tersebut.
Maka dari itu, para pemuda-pemudi dengan semangat kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, hendaknya ikut nguri-nguri tradisi yang ada di daerah-daerahnya masing-masing.
Seperti yang dilakukan seorang mubaligh, pengasuh pesantren, sesepuh kaum nahdliyin yang juga seorang sastrawan, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri. Kyai nyentrik kelahiran Rembang ini melakukan revisi terhadap puisinya yang berjudul Rasanya Baru Kemarin.
Puisi karya kyai Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus ini merepresentasikan tentang kemerdekaan Republik Indonesia. Puisi ini ternyata sudah beberapa kali mengalami revisi setiap 17 Agustus. Karena melalui puisi, ia dapat menyuarakan kegelisahan, kekaguman, jerit hati juga kritikan.
Dalam revisinya, Gus Mus mengubah syair yang berbunyi “setengah abad” menjadi “71tahun”. Puisi ini pertama kali terbit tanggal 11 Agustus 1995, dan kali ini di revisi untuk lebih di sesuaikan dengan keadaan sekarang agar lebih kekinian.
Gus Mus, dalam revisi puisinya, menyentil lewat beberapa bait seperti “Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi. Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi”. Atau sentilan bernas, “Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi. Sudah banyak yang meneriakkan reformasi. Tanpa merasa risi”.
Berikut ini adalah puisi Gus Mus berjudul Rasanya Baru Kemarin yang sudah direvisi dan dipublikasikan melalui akun resmi facebooknya, Ahmad Mustofa Bisri.
Rasanya Baru Kemarin
Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari para jurkam PDI saja.
Rasanya
Baru kemarin.
Padahal sudah 71 tahun lamanya.
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.
Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi
Sudah banyak yang meneriakkan reformasi.
Tanpa merasa risi
Rasanya baru kemarin
Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat
Pejabat yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat dan dilaknat
Rasanya baru kemarin
Padahal sudah enam puluh tahun lamanya
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh
Padahal pembangunan badan
yang kemarin dibangga-banggakan
sudah mulai runtuh
Kemajuan semu masih terus menyeret dan mengurai
pelukan kasih banyak ibu-bapa
dari anak-anak kandung mereka
Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi
Masih terus menutup mata
banyak saudara terhadap saudaranya
Daging yang selama ini terus dimanjakan
kini sudah mulai kalap mengerikan
Ruh dan jiwa
sudah semakin tak ada harganya
Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan
para penguasa berlaku sewenang-wenang
kini sudah pandai menirukan
Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya
Semakin bertambah besar pengaruhnya
Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda
Kepentingan sendiri dan golongan
sudah semakin melecehkan kebersamaan
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah 71 tahun kita merdeka.
....................
....................
....................
....................
Rasanya
Baru kemarin
Tokoh-tokoh angkatan empatlima
sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah
banyak yang terbenam
Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya
sudah banyak yang tak jelas maunya
Rasanya
Baru kemarin*
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaimana rasanya merdeka?
Ingin rasanya
bertanya kepada kalian semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?)
*edisi revisi
Semoga puisi karya Gus Mus ini menjadi pengingat bagi rakyat Indonesia, khususnya orang-orang Islam, tentang hakikat kemerdekaan dan tingkah laku yang perlu kembali mencontoh kepada teladan besar Nabi Muhammad SAW. (mrz/dbs)
Komentar
Tulis Komentar