
Sayembara Menulis #CintaUntukIbunda
Perayaan Hari Ibu 22 Desember: ‘Surat untuk Malaikat’
Aku selalu kehabisan kata setiap kali menempatkanmu sebagai subjek tulisanku.
Rasanya sebanyak apapun perbendaharaan kata yang aku punya, seakan tak cukup untuk melukiskan sosok mulia sepertimu.
Ini mungkin bukan tulisan pertamaku untuk mengabadikan kisahmu yang luar biasa selama memerankan tokoh yang dipercaya Allah di dunia. Tokoh sebagai Ibuku yang luar biasa.
Anggap saja ini adalah surat ku, seperti dulu ketika kecil kita sering berbalasan surat karena jarak yang tidak memihak.
Apakah disana engkau ingat, ketika engkau mengirimkan sepucuk surat untuk pertama kali? Sementara aku yang masih begitu kecil untuk tahu apa yang harus aku tulis dalam sebuah surat, tanda baca seperti apa, dan bahkan tulisanku yang entah bisa kau mengerti atau tidak.
Masa dimana anak seusiaku sedang belajar merangkai fonem menjadi kata, sementara aku dituntut untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat untuk mewakili keinginanku.
Ingatkah, ketika di dalam suratmu engkau selalu menanyakan apa keinginanku.
Kemudian saat itu dengan tangan polos penuh harap aku menulis beberapa keinginan, entah itu baju atau sepatu yang aku idamkan, atau sekedar snack terbaru yang baru muncul di iklan TV.
Dan selang beberapa bulan bersama suratmu berikutnya, engkau mengabulkan satu persatu keinginanku yang tidak penting itu.
Aku tak pernah tahu seperti apa engkau berjuang disana dengan suka dukamu. Maafkan aku.
Begitulah surat menyurat kita yang berlangsung selama bertahun-tahun sampai munculnya teknologi canggih yang bisa lebih banyak memadamkan kerinduan dengan mendengar suara merdumu.. Telephone.
Adakah engkaupun juga merasakan dan melakukannya? Saat menggoreskan pena seraya menahan kerinduan, menitihkan air mata disetiap sujud dan doa yang tak henti mengiringi hari. Membuka mata dengan merindu, menutupnya dengan sendu.
Aku ingin mengurai detail-detail kisah yang hanya bisa aku simpan di dalam memori. Meski aku tahu engkau tak akan membalas suratku lagi. Bolehkah aku tetap menulis surat untukmu?
Untukmu malaikat berjuta sayap.
Aku heran mengapa kebanyakan orang menyebutmu malaikat tak bersayap.
Karena dimataku sayapmu bahkan tak bisa terganti bahkan dengan deretan bilangan
Engkau bisa terbang melintasi cakrawala sekaligus mengarungi dunia,
Engkau bisa melakukan banyak hal hanya dengan sekali kepakan sayapmu
Rasanya tak cukup waktu untukku memujamu bahkan sepanjang hidupku
Entah dari pertikel seperti apa Tuhan menciptamu
Hingga banyak rumus tak terjangkau saat menguraimu
Dulu, sering sekali ketakutan mencekikku dengan kejam
Seakan ingin membawaku kedalam halusinasi kehidupan kelam
Aku kesakitan, menahan jerit tak tersampaikan
Ketakutan itu adalah ketika aku membayangkan engkau tak lagi berada dalam satu atap “Langit” yang sama denganku
Meski raga kita berada diatas bumi yang sama
Aku takut engkau dengan sejuta sayapmu terbang meninggalkanku yang masih termenung
Melihatmu yang mulai menghilang ditelan gumpalan awan
Ketakutan itu seakan memeras air mata yang mengalir deras
Dan tangispun pecah…
Tapi kini…
Aku seperti menghadapi mimpi buruk yang menjadi nyata
Itu bukan halusinasi semata
Saat tak aku dapati mata tak bisa terbuka sekedar melihatku tiba
Saat mulut tak lagi bisa tergerak sekedar mengucap selamat tinggal
Saat tangan tak mampu lagi terangkat sekedar mendekap
Saat itu aku merasa ruhku terlepas dari raga yang tak berguna
Aku seakan terbang tinggi mengikutimu yang sudah hilang ditelan awan
Aku mencoba meraih satu awan,
Berharap mendapatimu menjulurkan tangan ketika aku berhasil menembus awan itu
Mengajakku terbang bersamamu….
Namun tiba-tiba aku terhempas bebas
Kembali keraga kosong
Saat itu aku sadar, bahwa engkau tak akan bisa membalas suratku lagi
Jadi bolehkah aku tetap menulis surat untukmu di alamat barumu?
Alamat yang tak bisa aku jangkau walau sekuat apapun aku kayuh pedal kehidupan
Hingga saat Tuhanlah yang menjemputku, dan mempertemukan denganmu dalam satu tempat indah
Aku hanya ingin menyampaikan betapa engkau adalah malaikat berjuta sayap terhebat yang pernah Tuhan hadirkan dalam kehidupanku.
Terima kasih.
Ibu…..
Penulis:
Yekti Putranti
Sleman, Yogyakarta
Komentar
Tulis Komentar